Kalau kita menonton sebuah sinetron atau film layar lebar, kadang kita suka terbawa tegang atau berharap-harap cemas, bagaimana kelanjutannya? Coba aja nonton film layar lebar “Scream 1” dan sekuelnya.
Pasti jantung kita akan dipacu! Deg-degan juga. Gambar demi gambar disajikan secara berurutan. Ekspresi wajah si pembunuh yang sadis saat menghujamkan pisaunya! Para korban yang meregang nyawa! Semuanya begitu rapih dan terorganisir! Kok, bisa?
DETIL
Iya, ya. Kok, bisa-bisanya begitu, ya! Lihat saja, gambar-gambar berpindah dengan cepat. Dari langkah kaki pembunuh yang mengendap-endap, lalu ke tangannya, ke pisaunya, berpindah ke wajah calon korban yang ketakutan, ke tangannya yang gemetar, terus hanya gambar lorong-lorong yang sepi dengan suara jantung si calon korban yang berdegup kencang atau desah napasnya yang ketakutan, lalu berpindah lagi ke sorot mata si pembunuh yang tajam dan dingin, ke gerak bibirnya yang bengis. Pokoknya, bikin kita nggak bisa beranjak dari kursi! Belum lagi diisi dengan ilustrasi musik yang juga makin menambah ketegangan.
Itu di jenis-jenis film horor! Yang drama keluarga juga bisa seperti itu! Lihat saja sinetron-sinetron itu. Orang tua (terutama ibu) serta para pembantu, dibikin bercucuran air matanya. Dibuat panas-digin menunggu kapan sepasang kekasih itu berakhir happy di kursi pengantin.
Di situlah kita baru “ngeh”, bahwa kekuatan awal memagn di skenario. Ibaratnya itu adalah blue printnya. Sutradara akan sangat terbantu dengan adanya skenario yang baik. Terutama sebuah skenario yang unsur dramatiknya kuat, dimana di dalamnya terkandung banyak kondisi emosional intelektual para tokohnya, seperti rasa sedih, kaget, isak tangis, perasaan cemas, tegang, rasa bangga, dan bahagia. Ini semua harus dengan detil digambarkan di skenario, supaya sutradara bisa menterjemahkannya lewat bahasa gambar. Contoh skenarionya bisa saja seperti ini:
01. INT. SEBUAH RUMAH, KAMAR/RUANG KELUARGA – MALAM – H1
Pemain: Kkorban
Establishing shot: Sebuah rumah di pinggiran kota. Saat hujan lebat. Lampu penerangan byar-pet.
Di dalam rumah. Di kamar atau ruang keluarga. Korban yang baru saja selesai sholat tampak sangat cemas, ketika menyadari lampu penerangan gelap.
SFX:
Suara hujan, angin, dan petir….
Si Korban beregas bangkit, meraba-raba menuju jendela dan menutupnya rapat-rapat. Lalu merayap-rayap mencari korek api dan lilin di laci meja.
SFX:
BRAAAK, bunyi pintu yang tertutup karena angin.
INSERT: Pintu antara ruang keluarga dan dapur tertutup dengan keras, karena angin dari arah luar.
Si Korban berteriak kaget. Lilin yang sudah dinyalakanya terjatuh.
CUT TO
02. EXT. SEBUAH RUMAH, HALAMAN – MALAM – H1
Pemain: Pembunuh
Di halaman, sepasang kaki bersepatu boot menginjak halaman berumput yang basah tersiram hujan. Sepasang kaki itu terus melangkah menuju samping rumah. Ujung jas hujannya menutupi kakinya sampai ke betis. Tangannya memegang pisau yang biasa dipakai untuk memotong ternak. Sorot matanya tajam dan dingin.
Kini tubuh yang dibalut jas hujan denan penutup kepala, yang melindungi sebagan wajahnya, terus berjalan menuju pintu dapur. Dengan ujung gagang pisau, sekali pukul, kaca itu pecah!
SFX:
Suara kaca pecah.
CUT TO
03. INT. SEBUAH RUMAH, KAMAR/RUAGN KELUARGA – MALAM – H1
Pemain: Korban
Wajah korban yang masih bermukena makin cemas. Dia memasang pendengarannya baik. Korek api yang tadinya menyala langsung ditiupnya. Cahaya pun kembali gelap. Dalam kegelapan samar-samaaar terlihat bibir si korban bergerak-gerak berdzikir.
Korban:
(Berdzikir) Siubhanallah, subhanallah, subhanallah…..
Dan seterusnya….
Dari penggalan skenario di atas, sutradara berusaha menuangkannya dalam bentuk-bentuk shot (angle kamera). Dia pasti akan menggali semua kemampuannya, agar adegan di atas ini bisa membuat jantung penonton berdegup kencang. Bisa jadi akan banyak penambahan dari interpretasi si sutradara. Itu sah-sah saja sepanjang tidak merubah maksud dan isi adegan itu. Biasanya sebelum sutradara mengeksekusi skenario tersebut ke dalam shot-shot kameranya, selalu ada pertemuan bedah skenario. Produser, sutradara, penulis, dan tim produksi lainnya (asisten sutradara, penata artistik, kostum, dll) berkumpul membicarakan skenario dari aspek produksinya. Di sanalah mereka saling melempar pendapat, memberi masukan, kritikan, dan apa saja yang tujuannya memperbaiki skenario. Tentu semuanya disesuaikan dengan situasi dan kondisi, baik itu biaya, kondisi cuaca di lapangan artau lokasi, serta jadwal pemain yang padat. Dari hasil bedah skenario itu biasanya akan menghasilkan kesepakatan, bahwa ada penambahan atau pengurangan skenario. Penulis pun merevisi skenario yang ditulisnya.
SIMBOL
Kalau kita perhatikan sinetron di TV, kadang kita suka menemukan simbol-simbol dari benda-benda (kendaraan, tas, pisau, jam dinding, patung), asesoris yang dipakai para tokoh/pemain (kalung, cincin, anting, sabuk), warna-warna (merah, hitam, putih), lokasi atau tempat (stasiun kereta api, tempat pembuangan sampah, mesjid, Borobudur, sungai, kuburan), dan bunyi-bunyian (lonceng di tengah malam, bunyi kelintingan tukang pijat, klakson kereta dan kapal, giring-giring, bunyi terompet), serta bentuk phisik para tokoh (si bongkok, si pincang, si picak, si muka codet). Dalam wilayah drama lambang-lambang ini bisa juga disebut metaphora.
Sebagai penulis skenario kita sudah harus mahir menampilkan lambang, simbol, atau metaphora ini. Caranya beragam. Pertama, bisa dengan cara pengulangan. Misalnya, si tokoh utama kita tampilkan selalu menggunakan pakaian yang sopan dan peci/kopiah. Kalau kkta perhatikan tokoh “Jaka” dalam sinetron “Jalan Lain Ke Sana” (SCTV) yang berpakaian celana pantalon, kemeja sederhana, serta kopiah atau “Al Bahri” dalam mini seri “Al Bahri (Aku Datang dari Lautan)” (Indika – TV7) yang memakai pakaian, kopiah, gamis serta ransel tentara, secara sepintas sudah terbangun karakter kedua tokoh itu lewat simbol-simbol kebendaan di sekitarnya. Lewat pakaian yang dikenakannya. Kopiah di kepala mereka. Jika itu terus dsitampilkan berulang-ulang secara konsisten, jangan heran kalau suatu saat pakaian mereka akan menjadi trend di kalangan pemirsa muda. Sudah banyak terjadi ‘kan, bagimana pemirsa muda kita meniru potongan rambut. Kalau untuk “bad character”nya, bisa dimunculkan dengan seoragn tokoh yang suka membawa-bawa pisau lipat atau tato. Berkat pengulangan itu, maka para tokoh tersebut akan dengan cepat diterima oleh pemirsa kekhasannya.
Yang kedua, melalui nilai yang diberikan para tokoh. Misalnya dengan kopiah yang dipakai “Al Bahri” dan “Jaka”, itu juga menginformasikan nilai keyakinan agama mereka. Tasbeh yang sering digenggam tokoh Pak Haji, misalnya. Seorang tokoh yang selalu memungut benda-benda tajamdi tengah jalan (misalnya paku, duri, pecahan kaca). Tokoh yang selalu tidak mengambil uang kembalian recehan jika membeli koran, tokoh yang akan trenyuh jika melihat kucing kelaparan, dan tokoh yang selalu memberi recehan sekedarnya kepada pengemis buta. Aktivitas-aktivitas dari para tokoh seperti itu, kelihatan kecil dan terkesan sambil lalu. Tapi, jika si sutradara concern dengan apa yang ditulis oleh penulis, maka itu akan memberikan nilai-nilai yang dalam para para tokoh. Bukan mustahil para tokoh itu akan mewarnai dalam struktur dramatik cerita secara keseluruhan.
Ketiga, simbol-simbol yang membenturkan aktivitas para tokoh dengan tempat atau objek secara paralel. Misalnya, jika kita sedang menggambarkan tokoh seorang ibu yang cerewet, bisa saja ditampilkan lewat gambar seoragn ibu dengan rambut di roll dan wajah berbalut maskara dengan gambar yang lain, yaitu bebrapa ekor ayam betina yang sedang berebut makanan atau sedang ribut berkokok-kokok. Simbol yang tertangkap pada karakter si ibu, adalah seorang waita yang cerewet, sering ngegosip, dan cepat tersinggung (panasan) jika tetangganya baru ketiban rezeki. Di sini peranan editor di ruagn editing bersama sutradara dan penulis sangat penting. Dibutuhkan kerja sama yang kompak saat menghubung-hubungkan gambar-gambar audio visual itu. Jangan sampai terjadi kerancuan, karena nanti bisa amburadul.
Paling buncit, keempat, melaui tekanan visual dan alat musikal. Peran sutradaralah yang menonjol di sini. Penulis sebaiknya juga mencoba menuangkannya dalam skenario. Misalnya lewat visual, sutaradara akan menampilkan para tokoh secara close up pada beberapa bagian penting (phisik; mata, bibir, tangan)). Sedangkan musikal, cobalah sebagai penulis mulai menggali atmosphere (bunyi-bunyian alamiah) dari setiap adegan atau scene yang kita bangun. Misalnya, musik apakah yang cocok saat adegan di pekuburan (apakah bunyi petir atau terompet kematian), di hutan (bunyi cericit burung dan gemuruh air terjun).
Nah, gampang kan? Coba aja latihan.
Siapa takut!
***